Tumandang Gesang
di Tanah Kerontang
Foto dan teks oleh Ulet Ifansasti
Kekeringan bikin susah. Air tidak ada, PAM tidak mengalir. Imbasnya hewan ternak kekurangan pakan. Manusianya kekurangan air minum dan kurang mandi.”
Di penghujung September yang kering petani Wintaos bangkit bekerja di bukit-bukit kerontang. Karung-karung berisi pupuk tersebar di perbukitan gamping yang bertanah cokelat merah. “Bersiap-siap. Saat hujan datang, petani sudah siap menyambutnya,” tutur Rebiyo (49). “Petani siap-siap menanam benih padi, membuat kowakan [lubang tanam], menyebar rabuk.”
Kaum tani sedang menggeliat di lanskap ‘adoh ratu, cedhak watu’, yakni Padukuhan Wintaos, Girimulyo, Panggang, pedalaman selatan Gunungkidul, Yogyakarta. “September kita pol-polan [habis-habisan] lalahan untuk menyambut hujan,” imbuhnya menegaskan harapan hidup kepada tanah dan hujan.
Lalahan sebenarnya berarti lahan yang sudah siap tanam, tetapi bagi mereka ini berarti mengolah lahan perlahan-lahan selama kemarau. Petani mulai mengumpulkan, membungkus, lalu mengangkut rabuk ke lahannya. Setelah itu, petani menggelar lalahan di wana. Wana—bahasa Jawa halus untuk hutan—adalah hamparan lahan dengan beragam fungsi: peternakan, perhutanan, dan pertanian lahan kering. Wana juga seperti rumah kedua bagi warga Wintaos. Tak mengherankan, saat lalahan dusun senyap ditinggalkan warga bekerja di wana.
“Saat ini waktunya. Nanti, setelah hujan, petani menanam jagung dan ketela pohon,” Rebiyo menegaskan. Dalam perhitungan Rebiyo, bila hujan turun satu bulan ke depan berarti petani tepat waktu dalam menanam padi—lalu palawija. “Sangat pas … hasilnya paling bagus.”